Rabu, 14 Januari 2015

KASUS TELEMATIKA

Contoh Kasus Telamatika 1 :

Australia Menyadap Handphone Pejabat Indonesia

 JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Australia diduga melakukan penyadapan terhadap 10 telepon seluler pejabat Indonesia pada tahun 2009. Dua di antaranya, yaitu Wakil Presiden Boediono dan Dino Pati Djalal (kala itu Juru Bicara Presiden Urusan Luar Negeri), menggunakan ponsel pintar BlackBerry yang dikenal mengutamakan keamanan. Informasi ini terungkap dari dokumen rahasia yang dibocorkan Edward Snowden, mantan karyawan Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat.
     Dalam dokumen tercatat, ponsel yang dipakai Boediono dan Dino Pati Djalal adalah BlackBerry seri Bold 9000. PR Manager BlackBerry Indonesia Yolanda Nainggolan enggan berkomentar soal isu penyadapan ponsel BlackBerry yang digunakan dua pejabat tersebut. “Kami tidak bisa berkomentar banyak karena kami juga belum mengetahui bentuk penyadapannya seperti apa,” terang Yolanda saat ditemui di Jakarta, Selasa (19/11/2013).
    Selama ini keamanan menjadi fokus BlackBerry dalam menyediakan layanan untuk segmen korporasi dan pemerintah. Namun, hal itu tidak menjamin ponsel BlackBerry terbebas dari penyadapan. Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto mengatakan, ponsel BlackBerry yang dikenal aman sekalipun bisa disadap. "Pada dasarnya ponsel apa saja bisa disadap, dan caranya terbilang mudah," katanya.
   Selain BlackBerry, ponsel merek lain juga digunakan oleh pejabat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya, Kristiani Herawati atau lebih dikenal dengan Ani Yudhoyono, tercatat memakai Nokia E90. Pejabat lain yang disadap adalah Jusuf Kalla yang menggunakan Samsung SHG-Z370, Andi Mallarangeng memakai Nokia E71, Widodo Adi Sucipto dengan Nokia E66, serta Hatta Rajasa, Sofyan Djalil, dan Sri Mulyani Indrawati memakai Nokia E90.
Hukuman untuk penyelenggara telekomunikasi yang menyadap
 Aksi penyadapan ponsel dapat dilakukan melalui jaringan yang dimiliki penyelenggara telekomunikasi. Sejauh ini, menurut Gatot, belum terbukti apakah kegiatan penyadapan tersebut dilakukan atas kerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi atau operator seluler di Indonesia. “Namun, jika kemudian terbukti, maka penyelenggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur dalam UU Telekomunikasi dan UU ITE,” kata Gatot.
Aksi penyadapan bertentangan dengan Pasal 40 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang melarang setiap orang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.Penyadapan juga dilarang dalam Pasal 31 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Gatot, penyadapan dimungkinkan untuk tujuan tertentu, tetapi harus mendapat izin dari aparat penegak hukum.
Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi, adalah kurungan penjara maksimal 15 tahun. Sementara dalam Pasal 47 UU ITE, hukuman maksimal atas kegiatan penyadapan adalah penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 800 juta.

Tanggapan Contoh Kasus Telematika 1 :
Perkembangan telematika yang semakin canggih tidak dapat menjadi jaminan bahwa keamanan teknologi tersebut sudah 100% aman. Karena semakin dikatakan aman suatu teknologi, maka para cracker pun semakin ingin tahu sampai sejauh mana keamanan teknologi tersebut dapat ditembus. Kasus tersebut membawa dampak positif dan negatif. Positifnya adalah memberikan pelajaran bahwa teknologi informasi yang digunakan masih sangat tidak aman, maka harus berhati-hati dalam melakukan komunikasi selular untuk hal-hal yang sifatnya kenegaraan. Lembaga yang bertanggung jawab terhadap keamanan telekomunikasi di Indonesia pun harus lebih meningkatkan keamanan telekomunikasinya. Sedangkan negatifnya, penyadapan ini dapat memicu perselisihan antara negara yang padahal bisa saja oknum yang melakukan penyadapan ini untuk kepentingan pribadi. Indonesia seharusnya lebih waspada terhadap data yang berhasil disadap, karena data tersebut bisa saja disalahgunakan dan menyebabkan perpecahan di dalam Indonesia sendiri atau peperangan antar negara.

Contoh Kasus Telamatika 2 :

 MODUS OPERANDI Cybercrime

Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam data base berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang ecommerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org).

Modus Operandi : Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi Internet/intranet.

Tanggapan Contoh Kasus Telematika 2:
Jadi perkembangan teknologi yang pesat terutama dengan adanya dunia maya saat ini adalah faktor kuat mengapa cybercrime bisa masuk ke Indonesia. Kurangnya kesadaran masyarakat membuat kejahatan dunia maya masih saja tetap eksis. Karena pada dasarnya kejahatan atau pelanggaran hukum yang belum di atur sulit tersentuh hukum sesuai dengan asas legalitas.
Perbaikan hukum atau membuat regulasi baru yang sesuai dengan masyarakat adalah salah satu jawaban atas maraknya cybercrime di Indonesia. Namun bagian yang sangat penting adalah kesadaran masyarakat yang harus ditingkatkan. Sebaik apapun hukum yang diterapkan untuk mengatasi cybercrime. Namun apabila tidak mampu hidup sesuai dengan keadaan masyarakat dan penerapan oleh aparat hukum tidak sesuai maka akan sia-sia.
Masyarakat sebagai subjek hukum yang akan menjalankan setiap ketentuan hukum positif di Indonesia. Tidak seharusnya hanya bisa menuntut kepada pemerintah dan juga aparat tetapi harus memiliki kesadaran untuk taat hukum. Masyarakat juga dalam memakai internet dan menikmati fasilitas dunia maya harus mampu bertindak preventif. Agar tidak menjadi korban dari cybercrime.

Contoh Kasus Telamatika 3 :

Bank BCA jadi sasaran carding

Dunia perbankan melalui Internet (ebanking) Indonesia, dikejutkan oleh ulah seseorang bernama Steven Haryanto, seorang hacker dan jurnalis pada majalah Master Web. Lelaki asal Bandung ini dengan sengaja membuat situs asli tapi palsu layanan Internet banking Bank Central Asia, (BCA). Steven membeli domain-domain dengan nama mirip www.klikbca.com (situs asli Internet banking BCA), yaitu domain wwwklik-bca.com, kilkbca.com, clikbca.com, klickca.com. dan klikbac.com. Isi situs-situs plesetan inipun nyaris sama, kecuali tidak adanya security untuk bertransaksi dan adanya formulir akses (login form) palsu. Jika nasabah BCA salah mengetik situs BCA asli maka nasabah tersebut masuk perangkap situs plesetan yang dibuat oleh Steven sehingga identitas pengguna (user id) dan nomor identitas personal (PIN) dapat di ketahuinya. Diperkirakan, 130 nasabah BCA tercuri datanya. Menurut pengakuan Steven pada situs bagi para webmaster di Indonesia, www.webmaster.or.id, tujuan membuat situs plesetan adalah agar publik menjadi lebih berhati – hati dan tidak ceroboh saat melakukan pengetikan alamat situs (typo site), bukan untuk mengeruk keuntungan. 
Menurut perusahaan Security Clear Commerce di Texas USA, saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 2 setelah Ukraina dalam hal kejahatan Carding dengan memanfaatkan teknologi informasi (Internet) yaitu menggunakan nomor kartu kredit orang lain untuk melakukan pemesanan barang secara online. Komunikasi awalnya dibangun melalui e-mail untuk menanyakan kondisi barang dan melakukan transaksi. Setelah terjadi kesepakatan, pelaku memberikan nomor kartu kreditnya dan penjual mengirimkan barangnya, cara ini relatif aman bagi pelaku karena penjual biasanya membutuhkan 3 –5 hari untuk melakukan kliring atau pencairan dana sehingga pada saat penjual mengetahui bahwa nomor kartu kredit tersebut bukan milik pelaku barang sudah terlanjur terkirim.

Tanggapan Contoh Kasus Telematika 3:
Pada kasus ini jika hacker hanya ingin pengguna lebih berhati-hati dalam menggetikan sebuah alamat situs, sebaiknya setelah pengguna melakukan kesalahan dalam pengetikan sebuah alamat situs, situs yang salah dapat mengeluarkan peringatan dan menunjukkan pengguna kepada alamat situs yang sebenarnya tanpa adanya keinginan mencuri data untuk keperluan pribadi. Diperlukan kecermatan dalam melakukan suatu transaksi melalui media internet, karena kecerobohan dan ketidak hati-hatian seorang pengguna web akan dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pelaku yang tidak bertanggung jawab baik dalam mengambil keuntungan ataupun untuk motif lain.


SUMBER: